Pernah dengar kata ‘blackout’? Mungkin anda jadi teringat dengan band rock asal Indonesia dengan nama serupa. Tapi ‘blackout’ yang saya maksud bukan band itu. ‘Mati listrik’, atau lebih saya kenal lagi dengan istilah ‘mati lampu’. Seperti yang terjadi beberapa saat ini, gangguan trafo PLN yang berada di Kembangan. Benaar saja, kantor saya yang masih dalam wilayah itu kena imbasnya. Salah satu dari IBM *brand new* server – yang saat itu sedang diuji tanpa ups – harus menghadapai cobaan ‘mati lampu’ ini. Saya hanya berharap-harap cemas saja, semoga server baru itu tidak ‘ngambek’ karena kejadian itu.
Yah, begitulah kalau mati lampu. Semua peralatan listrik seperti terkena serangan ‘shock’ sedikit. Jika hanya satu dua kali sih, tidak mengapa. Jika sering-sering sih lama-lama bisa geram juga. Seperti yang dialami oleh PC saya, umurnya saat itu baru 1 tahun dengan pengalaman mati lampu-nya sebanyak lebih dari 10 kali. Sebelum tewasnya si PC, sepupu saya masih asik mengotak-atik dan bermaen game PC. Tiba-tiba saja PC mati, ia mencoba men-‘starter’-nya dan tampaknya usahanya sia-sia. Sepulang kuliah, ia menceritakan nasib si PC. Curiga akan power supply-nya yang mungkin sekarat, saya membawanya ke teknisi di Plasa GM. Saya pun harus merogoh kocek hampir 300k untuk mengganti power supply-nya.
Fiuh~ Kalau saya ingat masa kecil saya, mati lampu hanya jadi penghalang untuk nonton TV, memompa air untuk mandi, dan penerangan. Jika terjadi di siang hari, saya dan adik keluar bermain dengan tetangga kami yang sebaya. entah itu petak umpet, polisi-penjahat, lompat tali, layang-layang atau sepeda. jika terjadi di malam hari, tidur atau bermain dengan lilin – yang akhirnya meninggalkan bekas pada tangan saya.. orang tua saya melarang anak-anaknya membaca di kegelapan, agar mata tidak cepat rusak..
Saya jadi menyadari betapa kita bergantung pada listrik. Tanpa listrik seperti tanpa kehidupan.